puisi dunia tak terhingga

"Dunia telah tua dan kau masih muda, dunia besar dan kau kecil;
Wahai debu sesaat, berhentilah dari keserakahan!
Manusia, berhentilah menangis, bersedih, dan meratap;
nikmatilah kecerahan mentari;
Kita menari di atas tebing curam Kematian,
tetapi apakah tarian tersebut berkurang keceriaannya?”
Segores puisi Richard Burton, seorang sufi Inggris, dalam ‘the kasidah’ yang ditulisnya dalam perjalanan pulang dari Mekah.

Federico Garcia Lorca, puisi terakhirnya justru lahir sewaktu moncong pistol telah menempel di tengkuknya: “where my moon?”

Sebagaimana tergambar dalam film The Disappearence of Garcia Lorca, wajah Lorca yang halus nan klimis itu tengadah ke hening malam yang diseraki gemintang. Tenang. Secual pun tak ada tanda was-was. Karena itulah sang algojo tak sanggup tarik pelatuk. Algojo itu jengkel, sebab ia ingin sekali, bahkan terobsesi, melihat penyair Andalusia yang necis itu meratap ketakutan, dan memohon-mohon untuk diampuni.

Obsesi algojo itu ternyata tak terkabul.

Dalam hal Andalusia dan diktatornya yang bernama Jenderal Franco, juga bagi setiap penguasa mana pun yang terkaing-kaing mengejar ambisi untuk setotalnya menguasai, kekuasaan akan selalu tampak tergopoh-gopoh, dan karenanya kedodoran. Sebab, sekokoh apa pun kontrol, semenjulang apa pun tahta, dan seperih apa pun tekanan yang ditangguk orang jelata, toh orang masih bisa melawan, meski itu minimum. Dengan memaki dalam hati, misalnya. Atau memelesetkan lagu-lagu.

Dalam hal Lorca, ia melawan lewat puisi. Barangkali karena tahu bahwa maut sudah tak mungkin lagi ditampik, maka takut pun sudah tak berarti lagi baginya. Puisi terakhir Lorca (“where my moon”) karenanya adalah satire, sebungkus kado terakhir berisi cibiran untuk kekuasaan yang tampak kedodoran.

Itu dulu. Puisi kini menghadapi jenis kekuasaan baru.

Hari ini, sewaktu tengkuk para penyair tak lagi ditodongi pistol dan sehelai surat sensor, di manakah puisi, dan apa yang menarik dari puisi?

Hari ini memang bukan nusantara pada ratusan tahun silam. Apakah itu yang dipahat di batu-batu prasasti maupun yang tersurat dalam babad-babad. Kata-kata dalam bentuk mantra bahkan tampak sakral dan suci karena dianggap bertemalian dengan dunia transendental, Yang Gaib. Dan karenanya, ia –kata-kata itu…– berada di tempat terhormat.

Hari ini juga bukan tahun ’45, saat ketika kata-kata besutan Chairil Anwar, “Bung, Ayo Bung!”, terpacak di gerbong sepur Djakarta-Soerabaja. Bukan ’66 saat puisi-puisi Tirani dan Benteng-nya Taufik Ismail beredar stensilan di jalanan Jakarta. Keduanya pada zamannya sama-sama punya daya pukau yang menggerakkan heroisme.

Hari ini adalah hari ketika hidup telah menjadi hingar bingar acara televisi, berisiknya baku kilah pelaku politik, aneka celoteh dan keluh kesah di jagad maya, dan perlombaan menggaruk uang. Puisi dan penyair karenanya tampak ganjil dan asing. Ia ganjil karena tak menyenandungkan tentang hidup yang menempatkan “nilai guna dan “nilai tukar” di atas segalanya. Penyair juga aneh, sebab di tengah hidup yang silau gemerlap pusat-pusat belanja, ia masih saja berbicara tentang ilalang, langit pagi seusai hujan dengan sisa kabut yang enggan beranjak, dan tentu saja tentang bulan yang berenang dilautan.

Barangkali kita perlu menonton Deads Poets Society. Di film itu, sejumlah anak muda mengalami transformasi besar setelah kedatangan seorang guru sastra yang dengan memikat berhasil menghadirkan puisi dalam bentuknya yang paling hebat: penuh daya pukau dan juga penuh kemungkinan. Anak-anak muda itu lalu menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan.

Puisi adalah “dunia yang serba mungkin”, penuh rahasia, penuh kelokan dan ironi. Dunia macam itu digerakkan oleh semangat untuk terus mencoba dan menjajal segenap rahasia hidup.
Kebebasan menjadi penting di sana. Tak ada otoritas yang bisa menentukan sesuatu. Semua jenis kekangan dicairkan karena umat dari dunia puisi hanya melantunkan perasaan hatinya.

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
.
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
.
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!

(Widji Thukul)

Widji Thukul (lahir di kampung Sorogenen Solo, 26 Agustus 1963) adalah seorang sastrawan dan aktivis Indonesia. Widji Thukul lahir dari keluarga tukang becak. Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.

“where my moon?”

= eMGe – Menembus Dunia Ekstra Dimensi – pejalanjauhcom

Comments

Popular posts from this blog

kelas wifi dan kelas ip cah tkj

Wahyu Topeng Waja

Media dan Politik BAJINGAN