Wahyu Topeng Waja


Dengan duduk bersikap “ Trapsila Anoraga “  Raden Gatot Kaca terus saja mendengarkan wejangan dan petuah para sesepuh kerajaan Amarta Pura. Sebelum keberangkatan nya menyongsong turun nya  “ Wahyu Topeng Waja “.

Setelah berita berupa wangsit akan turun nya wahyu ini membahana, banyak sekali para Brahmana, para Raja, ataupun para Ksatria berkeinginan untuk mendapatkan nya. Namun semuanya tidak tahu kapan wahyu itu turun, dimana tempat dan melalui sarana prasarana apa juga tidak di ketahui. Pada dasarnya justru  “ Wahyu “ itu sendirilah yang mendekatkan diri serta mencari  tempat yang idealis untuk berlabuh. Jika Brahmana adalah yang sangat mumpuni  “ Kawruh Agal – Alus “ dan jika dia adalah seorang Raja adalah yang  “ Berbudi Bowo Leksono “  dan jika dia adalah seorang Ksatria adalah yang  “ Ngregem Tri Brata “.

Sungguh tak mudah untuk memperoleh  “ Wahyu “  yang menjadikan idaman bagi para pemburu nya. Konon sifat dan Aura dari yang sedang di cari ini dapat lebur dan meresapi menjadi  “ Daya Linuwih “   ( Kekuatan Supra ) bagi yang memilikinya. Demikian pula Raden Gatot Kaca menutup seluruh sentuhan penyebab  “ Sasra Rahsa Miruda “  ( Sasra : Bilangan 1.000, Rahsa : Rasa yang sangat dalam, Miruda : sifat yang mengarah kepada kerusakan ).

Betapa berat laku yang harus di jalani oleh Raden Gatot Kaca untuk mendapatkan nya. Namun seberat apapun Raden Gatot Kaca tak undur tekadnya karena apa yang dicari kali ini adalah merupakan pelengkap dari apa yang telah di peroleh sebelum nya yaitu  “ Wahyu Senopati “.

Ia sangat menyadari apa yang akan di emban nantinya sebagai garis keturunan langsung putra Bimasena saat  “ Bharata Yudha Jaya Binangun “. Ia ingin tunjuk kan kepada dunia bahwa seorang putra dari Pangeran Amarta layak dan patut berkalungan bunga sebagai tanda Sang Senopati. Curahan kesetiaan terhadap Dharma, kesanggupan mengembalikan martabat serta kedudukan dan kebibawaan juga curahan kemampuan memerangi Adharma.

Topeng Waja memang berhasil di dapatkan nya dan tentunya dengan laku yang sangat ketat agar jiwa ksatria nya tidak ternodai muncul nya Sasra Rahsa Miruda yang menjadi pantangan berlabuh nya Wahyu Topeng Waja.

Setelah wahyu itu benar – benar telah berlabuh, tetap saja ada pihak lain yang ingin merebut untuk memiliki nya. Maka dengan segala cara, segala upaya ataupun bentuk rekayasa dan rekadaya dilakukan dengan tak mengenal malu, siapa kau siapa aku. Dalam setiap lakon di pewayangan, tokok seperti ini biasanya adalah sang penghasut anti kemapanan, karena harga diri ataupun tokoh upahan.

Benar juga bahwa saat itu Raden Gatot Kaca harus berhadapan dengan  “ Ditya Kala Rudra Cs “  dalam perebutan Wahyu Topeng Waja.  Topeng Waja yang di pakai oleh Raden Gatot Kaca akhirnya kena hantaman lawan yang menggunakan “ Gampar Waja “ serta semburan api. Raden Gatot Kaca lunglai tak berdaya walau konon di ceritakan Berotot Kawat, Bertulang Besi, Kulit Tembaga, Bersumsum Gegala tak bisa berbuat banyak. Untunglah pada saat yang kritis ini kemudian di tolong oleh Prabu Baladewa serta mengupayakan pengganti yang telah rusak berkeping – keping itu dengan “ Topeng perunggu dan Gampar Kencana “  yang sepadan juga memiliki  “ Daya Linuwih “.

Dari separuh lakon tersebut diatas kita dapat menarik beberapa pelajaran yang sangat berharga dari konflik yang terjadi antar Raden Gatot Kaca dan yang berhadapan menjadi lawan nya, semua berpusat pada sebuah  “ TOPENG “.

Topeng dalam terjemahan Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat 3  (  tiga ) penjelasan :

Dapat berarti karya seni yang dipakai memerankan ketokohan dalam sebuah ceritera.
Dapat berarti kedok untuk menutupi dari hal – hal yang sesungguh nya.
Dapat berarti alat pelengkap untuk keamanan.
Akan tetapi lakon Wahyu Topeng Waja dari kebudayaan seni pedalangan Wayang Kulit dapat berarti lebih dari 3  ( tiga ) hal pengertian di atas. Karena begitu sarat nya muatan pendidikan dan kandungan pengajaran yang di pertonton kan untuk di kaji akan kedalaman makna nya.

Peranan seorang Raden Gatot Kaca sebagai lambang utusan terpilih para Ksatria Pandawa yang nanti nya akan mengemban tugas menegak kan Dharma memang meraih tujuan itu walau dengan susah payah. Demikian juga dalam peran dia untuk mempertahankan apa yang di dapat nya sebagai simbol penegakan kebenaran, walau sampai titik kekuatan terakhir. Keduanya tidak ada yang kalah ataupun yang menang sebab ketika Topeng Waja yang di pakai Raden Gatot Kaca pecah berkeping – keping namun sang lawan juga kehilangan  “ Piyandel “ nya berupa senjata pamungkas yaitu  “ Gampar Waja “. Itulah kondisi keadaan setiap hati manusia, bahwa kebaikan dan keburukan ataupun kebenaran dan kesalahan ataupun sebut saja hitam dan putih selalu berdampingan.

Ambilah waktu sesaat untuk merenungkan ketika hati nurani berkata – kata serta memutuskan dalam mengambil suatu kepastian, maka akal budimulah yang “ menyutradarai “ menjadi tindakan. Dan disinilah peran dari badan kewadagan atau jasmanimu menjadi pelaku bertopeng dari apa yang tidak tampak wujud ungkapan pribadi. Pemeran ini selalu mempertontonkan pertunjukan terbaik nya, yang di poles, dihias, di bumbui dan di buatnya sangat indah, menarik serta sangat mengagumkan. Akan tetapi apakah yang tampak anggun itu merupakan cermin jernih yang memungkinkan kita untuk melihat hal – hal sebenarnya “ tidak bukan !!.

Ada pepatah orang – orang bijak  “ Tempoe Doeloe “ yang terpampang pada kayu ukir dalam bentuk pahatan di bentangan  “ Soko Guru “ Rumah – rumah joglo yang bila di alih bahasa Indonesia akan berbunyi :  “ Jika engkau melihat siang, ingatlah akan sisi malam nya “. Benar juga, bahwa walau sejernih apapun cermin itu, yang terpantul indah adalah keelokan wajah anggun nan Rupawan. Wajah itu adalah tetap topeng pribadi yang penuh misteri dimana mata ini tak akan bisa memandang lebih jauh kepada kedalaman yang tak pernah terlihat dan di mana sesungguh nya kebenaran itu berawal. Akan tetapi saat kebenaran itu terobsesi oleh  “ Sosro Rahsa Miruda “  maka ibarat topeng sekuat bajapun seperti hal nya yang di dapat oleh Raden Gatot Kaca akan hancur oleh  “ Gampar Waja “  ( Terumpah Baja ), Gampar Waja yang dipakai oleh “ Ditya Kala Rudra “ ( Ditya : Manusia yang bermuka raksasa, Kala : menunjuk kepada waktu, Rudra : Simbol darah atau keangkara murkaan ), sebuah ungkapan menunjuk pada laku atau perbuatan yang selalu haus darah atau kebencian atau kerusakan.

Topengmu, Topengku, Topeng Kita, adalah sastra tanpa tulisan di papan, akan tetapi orang lain dapat membacanya. Apakah bunyi lukisan kita dimatanya ? Tak tahu.

Penulis : Ki Juru Martani.
Sumber:
http://asosiasiupkjatim.org/

Comments

Popular posts from this blog

kelas wifi dan kelas ip cah tkj

Media dan Politik BAJINGAN