dongeng tanah Jawa Syeh Siti Jenar

Raden Patah adalah salah satu cucu dari raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya. Dan sebagai hadiah + tanda pengakuan dari kakeknya, Prabu Brawijaya, ia dianugerahi jabatan bupati di Demak. Tetapi karena bujukan para Wali, Raden Patah diam-diam membangun kekuatan untuk membentuk kekuasaan sendiri, yang semula hanyalah sebuah kabupaten saja, menjadi kerajaan sendiri, kerajaan Demak, agar tidak lagi berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Dengan dukungan para Wali ditambah pengaruh kekuasaan para Wali dalam agama Islam, diam-diam dan perlahan-lahan ia menundukkan kadipaten / kabupaten lain yang lebih lemah di pesisir utara dan dimasukkannya ke bawah kekuasaan Demak.

Prabu Brawijaya, sekalipun dari laporan para telik sandi ia sudah mengetahui gelagat perilaku Raden Patah cucunya itu, tapi ia tidak mau memeranginya, sekalipun sudah terbukti mbalelo, membangun kekuatan dan kekuasaan sendiri di dalam wilayah kerajaan Majapahit.

Perkembangan pergerakan Demak sudah diketahui oleh para petinggi kerajaan. Tetapi walaupun telik sandi dan para penjaga di pos-pos penjagaan luar kota sudah melaporkan adanya pergerakan pasukan Demak dan laskar santrinya ke ibukota dan akan memanfaatkan keramaian malam garebek pasar untuk menyerang Majapahit, Prabu Brawijaya tidak memerintahkan pasukannya untuk menggilas pasukan Demak itu, tetapi malah diperintahkannya untuk membiarkannya saja. Justru pada malam itu juga Prabu Brawijaya mengumumkan pembubaran kerajaan dan dengan memanfaatkan keramaian malam garebek pasar itu pula Prabu Brawijaya keluar dari istana, diiringi para kerabat keluarga dan prajurit pengawal seperlunya.

Sekalipun kerajaan Majapahit sudah dalam kondisi rapuh karena di dalamnya banyak terjadi perselisihan dan perebutan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan, tetap saja ketentaraan Majapahit masih terlalu kuat untuk dilawan oleh sebuah kerajaan kecil baru seperti Demak. Karena itu di bawah pengaruh kuat para Wali, Raden Patah berusaha menundukkan Prabu Brawijaya tidak dengan jalan perang, tapi dengan pendekatan agama, dengan memaksakan agama Islam kepadanya.

Sampai akhirnya, karena tidak mau memerangi cucunya sendiri dan tidak mau memerangi rakyatnya sendiri para santri yang dijadikan tameng pasukan Demak oleh para Wali, yang selalu meneriakkan yel-yel agama dan siap mati untuk mereka, kearifannya mendorong Prabu Brawijaya untuk memilih menyingkir, lengser dari keprabuannya, memilih keluar meninggalkan istana untuk menepi dan mandito di gunung Lawu. Sepeninggalnya Prabu Brawijaya dari istana berarti resmi sejak saat itu juga berakhirlah jaman kejayaan kerajaan Majapahit.

Tetapi sekalipun Prabu Brawijaya sudah lengser dari tahtanya, sudah meninggalkan kekuasaannya sebagai raja, sudah pergi meninggalkan istana untuk mandito, tetapi karena kuatnya pengaruh dari para Wali, Raden Patah terus mengirimkan pasukan dan laskar santrinya di bawah pimpinan para Wali untuk terus memburu Prabu Brawijaya.

Gunung Lawu, yang rencananya akan menjadi tempat Prabu Brawijaya menepi, mandito, kaki gunung dan lerengnya dikepung oleh laskar santri dan pasukan Demak. Penduduk setempat di kaki dan lereng gunung Lawu dan prajurit dan keluarga kerabat kerajaan yang mengiringi perjalanan Prabu Brawijaya sampai ke gunung Lawu semuanya mati dibunuhi oleh tentara Demak karena dianggap membela Prabu Brawijaya.

Bahkan walaupun di gunung Lawu itu Prabu Brawijaya sudah mengucapkan syahadat Islam sesuai kemauan Raden Patah melalui duta utusannya Sunan Kalijaga, tetap saja ia terus diburu, dipaksa untuk menyerahkan diri, karena yang diinginkan Raden Patah adalah penyerahan total Prabu Brawijaya beserta para bawahan dan semua pengikutnya.

Prabu Brawijaya mengerti maksud dari Raden Patah, yaitu supaya semua bawahannya pun menyerahkan diri dan tunduk setia kepada kerajaan Demak agar nantinya tidak menjadi bahaya bagi Demak di kemudian hari. Tetapi Prabu Brawijaya juga menyadari bahwa sebenarnya Adipati Pengging-lah orang yang paling berhak atas tahta menggantikan dirinya, bukan Raden Patah. Selain Adipati Pengging masih ada banyak adipati dan bupati lain keturunan raja-raja Majapahit, yang juga memiliki hak atas tahta. Karena itu demi berlaku arif dan adil Prabu Brawijaya tidak mau memaksa para bawahan dan pengikut yang setia kepadanya itu menyerahkan diri mereka kepada Demak. Prabu Brawijaya tidak mau mengabulkan keinginan Raden Patah itu dengan alasan ia sudah melepaskan kekuasaan, sudah tidak mempunyai kewenangan lagi sebagai seorang raja untuk memerintahkan para bawahan dan pengikutnya tunduk kepada Demak. Terserah kepada raja yang baru apakah mampu menundukkan mereka atau tidak.

Orang-orang keturunan raja-raja Majapahit, yang tidak menjadi putra mahkota, diberi pangkat dan jabatan dan wilayah kekuasaan, menjadi adipati atau bupati. Dan karena pada masa itu Majapahit sedang membangun ketentaraan yang kuat, maka kadipaten dan kabupaten di dalam wilayah Majapahit juga membangun ketentaraan yang kuat dan siap sedia untuk sewaktu-waktu mereka dan tentaranya berbakti kepada negara, bergabung dengan tentara kerajaan untuk dikirimkan dalam ekspansi kerajaan atau untuk menangani pemberontakan. Dengan demikian ada banyak kadipaten dan kabupaten di wilayah Majapahit yang memiliki ketentaraan yang kuat dan banyak.

Ki Ageng Pengging juga membentuk kadipatennya menjadi kadipaten yang kuat, didukung oleh keprajuritan yang kuat dan abdi-abdi yang linuwih. Selain dihormati sebagai seorang keturunan raja Majapahit, Ki Ageng Pengging juga dihormati karena kesaktian kanuragannya yang sangat tinggi, juga dikenal sebagai seorang yang linuwih dan waskita, yang sulit dicari tandingannya pada jamannya.

Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) adalah cucu dari raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya. Ayahnya, Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh), adalah seorang bangsawan keturunan raja Majapahit yang menikahi Ratu Pembayun, satu-satunya anak dari Prabu Brawijaya dengan permaisurinya. Dengan demikian orang tuanya itu, Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh) dan istrinya, adalah satu-satunya ahli waris tahta Majapahit yang akan menggantikan Prabu Brawijaya.

Sekalipun Ki Ageng Pengging sebenarnya adalah orang yang paling berhak atas tahta Majapahit, tetapi ketika Prabu Brawijaya memilih lengser dari keprabuannya, pergi meninggalkan istananya untuk mandito, sama seperti para petinggi kerajaan lainnya yang kembali ke daerah asalnya masing-masing membawa serta para prajuritnya masing-masing karena Prabu Brawijaya mengumumkan pembubaran kerajaan, Ki Ageng Pengging bersama para prajuritnya juga kembali ke daerah asalnya di Pengging, menjadi Penguasa Kadipaten Pengging (Adipati Pengging), warisan dari ayahnya (Ki Ageng Pengging Sepuh) yang menjadi menantu Prabu Brawijaya.

Sesudah ditinggalkan oleh Prabu Brawijaya, petinggi kerajaan dan para prajuritnya, kerajaan Majapahit yang sekarang sudah bukan lagi kerajaan Majapahit yang sama dengan yang dulu menjadi penguasa nusantara. Hanya bangunannya saja yang masih berdiri menjadi simbol bekas sebuah kerajaan besar, tetapi "isinya" sudah tidak sama lagi.

Para Wali dan prajurit Demak menduduki istana Majapahit yang telah ditinggalkan oleh Prabu Brawijaya. Berbagai macam benda pusaka kerajaan Majapahit diboyong ke Demak, termasuk sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten lambang kebesaran Majapahit, tetapi naskah-naskah sastra dan keagamaan dimusnahkan dan tempat-tempat ibadah di lingkungan istana dihancurkan. Dalam perjalanan kembali ke Demak pun banyak situs-situs keagamaan yang dirusak.

Para Wali, selain Sunan Kalijaga, adalah ulama-ulama pendatang dari kerajaan Persia (Irak). Syech Siti Jenar adalah seorang ulama besar kerajaan Persia, sedangkan para Wali yang lain adalah ulama biasa dari Iran, wilayah di bawah kerajaan Persia juga. Sekalipun mereka berasal dari wilayah kerajaan yang sama, tetapi mereka datang sendiri-sendiri dengan menumpang kapal dagang.

Syech Siti Jenar senang berkeliling negeri mencari tempat-tempat baru untuk mengajarkan agama Islam. Dan di setiap tempat yang didatanginya ia selalu berusaha beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga ajaran-ajarannya selalu dapat diterima oleh masyarakat umum. Di beberapa tempat beliau mendirikan pesantren-pesantren kecil sebagai sarana belajar agama bagi masyarakat setempat. Beliau juga mendidik utusan-utusan perwakilan dari daerah-daerah yang menerima ajarannya untuk diperdalam lagi pengetahuan agamanya di pesantrennya, yang kemudian setelah dianggap cukup pengetahuan / ilmu keagamaannya, dikirimkannya kembali ke daerah asalnya untuk mengajarkan agama kepada anggota masyarakat yang lain.

Beliau menolak untuk tinggal di satu tempat untuk waktu yang lama sekalipun banyak penguasa daerah yang menawarkan tempat untuk menjadi pesantrennya. Tetapi di Pengging beliau mau menerima tawaran Ki Ageng Pengging untuk mendirikan pesantren. Syech Siti Jenar mendirikan sebuah pesantren di sebuah tempat yang disediakan oleh Ki Ageng Pengging yang saat itu menjadi Kepala Kadipaten Pengging. Padepokan / pesantren itu menjadi tempat belajar agama Islam untuk murid-muridnya (santri), untuk rakyat umum. juga untuk para pembesar dari bekas-bekas wilayah Majapahit dan keluarganya.

Ki Ageng Pengging adalah salah satu tokoh dunia persilatan pada masanya, sekaligus juga menjadi salah satu tokoh kebatinan jawa. Di tempat tinggalnya Ki Ageng Pengging memiliki sebuah padepokan kebatinan / kerohanian sendiri. Para prajurit beserta keluarganya yang setia mengabdi kepadanya tinggal di sekitar rumah dan padepokannya itu, membentuk sebuah desa baru di sekitar tempat tinggalnya. Selain selalu berlatih beladiri dan keprajuritan, mereka juga menekuni kebatinan kerohanian bersama Ki Ageng Pengging.

Di tempat itu Ki Ageng Pengging dan Syech Siti Jenar sering bercakap bertukar pikiran. Mereka saling belajar kepada yang lain. Ki Ageng Pengging belajar agama Islam kepada Syech Siti Jenar, sebaliknya Syech Siti Jenar belajar penghayatan kebatinan ketuhanan cara jawa kepada Ki Ageng Pengging. Masing-masing tidak menempatkan diri sebagai guru atau murid, tetapi masing-masing saling menghormati dan bersikap sebagai "orang tua" yang "menularkan" pengetahuan kepada yang lain.

Sebenarnya Syech Siti Jenar kurang mengerti tentang kebatinan kejawen. Syech Siti Jenar pada dasarnya adalah seorang ulama / pengajar agama Islam yang datang dari luar Jawa. Pengetahuan kebatinan dan kejawen dipelajarinya dari Ki Ageng Pengging dan yang dipelajarinya hanyalah intisarinya saja, untuk menambah wawasan kebijaksanaannya tentang kejawaan dan menambah dalam kebatinan ketuhanannya. Ajaran kejawen itu adalah ajaran penghayatan ketuhanan dari sudut pandang orang Jawa. Dari pembelajaran ajaran kejawaan itu Syech Siti Jenar menemukan banyak pencerahan mengenai ketuhanan agamanya sendiri, agama Islam, mendapatkan sudut pandang lain tentang pemahaman ketuhanan yang itu tidak akan didapatkannya bila ia hanya mengikuti tata cara Islam seperti yang selama ini dijalaninya.
Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan ketuhanan itu bukanlah agama. Agama yang dianut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Agama Hindu dan Budha yang sudah lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme Jawa.

Pemahaman yang dalam mengenai ketuhanan Islam setelah memahami penghayatan kebatinan ketuhanan Jawa telah memperkaya wawasan ketuhanan Syech Siti Jenar dan menjadi bahan untuk mengajarkan agama Islam di pulau Jawa. Semua pengetahuan itu berguna dalam mengadaptasikan ajaran Islam kepada masyarakat jawa pada saat itu yang mayoritas adalah penganut kejawen, dan berguna untuk bertukar pikiran atau berdebat tentang ketuhanan dan agama. Tetapi selain itu penghayatan kebatinan itu juga telah menambah tinggi kekuatan kebatinan dan kegaiban sukmanya sendiri.

Pada jaman dulu kesaktian memang adalah sesuatu yang sangat penting, karena Syech Siti Jenar juga harus menundukkan orang-orang yang menantangnya, yang tidak mau begitu saja menerima agama Islam. Itulah juga sebabnya Syech Siti Jenar belajar kebatinan jawa kepada Ki Ageng Pengging, seorang tokoh panutan rakyat, keturunan raja, yang memiliki kesaktian sangat tinggi, tetapi juga sangat dalam kebatinan dan spiritualnya. Bahkan para perampok dan garong pun tunduk kepadanya.

Hingga suatu saat terjadi Syech Siti Jenar menegur para Wali karena mereka tidak mau turun kepada masyarakat umum untuk mengajarkan agama, lebih suka tinggal di tempat-tempat kekuasaan dan kemewahan, lebih suka dekat dengan raja, bupati atau adipati, menikmati kekuasaan dan kemewahan, senang memakai pakaian kebesaran dan hidup mewah, dan senang menggunakan cara-cara kekuasaan dan kekerasan dalam menyebarkan agama. Syech Siti Jenar juga menegur karena mereka telah berlaku sesat, mengajarkan ilmu-ilmu gaib / khodam budaya ilmu sihir Arab ke tanah Jawa, mempamerkan ilmu gaib kepada orang banyak dengan doa-doa berbahasa Arab seolah-olah itu adalah ilmu dari Allah, padahal perilaku dan budaya ilmu-ilmu dan ajaran seperti itu sangat dilarang dan ingin dimusnahkan oleh Nabi mereka.

Teguran-teguran itulah awal yang menjadikan para Wali sakit hati dan memusuhi Syech Siti Jenar, sehingga mereka berusaha menjatuhkan Syech Siti Jenar dengan berbagai cara.

Pada saat itu, para Wali yang ditegur oleh Syech Siti Jenar memang tinggal di pusat-pusat kekuasaan. Selain mudah untuk urusan pribadi, juga lebih mudah dalam upaya mereka mewujudkan ambisi mereka membangun kekalifahan Islam di pulau Jawa. Mereka memang mengajarkan agama kepada para penguasa dan keluarganya dan kepada para keluarga bangsawan saja, sedangkan pengajaran agama kepada masyarakat umum hanya diserahkan kepada murid-muridnya saja.

Mereka membentuk suatu perhimpunan / ikatan para Wali yang oleh orang sekarang disebut Dewan Wali. Misi mereka adalah membangun kekalifahan Islam di pulau Jawa dengan membesarkan kerajaan Demak sebagai langkah awalnya. Keberadaan mereka di pusat-pusat kekuasaan efektif dapat menyetir jalan dan kebijaksanaan pemerintahan, baik kerajaan, kadipaten, maupun kabupaten. Karena setelah para penguasa dan pejabat-pejabatnya memeluk agama Islam, maka semua kebijaksanaan dan keputusan para penguasa itu tidak boleh menyimpang dari aturan-aturan para wali agama, supaya mereka tidak disebut murtad atau tidak beriman, sehingga kemudian para penguasa itu tidak lagi menjadi penguasa mutlak, karena segala sesuatunya harus sesuai dengan yang menjadi kebijaksanaan para wali agama. Di dalam urusan pemerintahan sehari-hari justru kebijakan para Wali yang lebih menonjol daripada kebijakan penguasa wilayahnya.

Di dunia Arab memang sudah sangat membudaya penggunaan ilmu gaib dan ilmu khodam, yang sebelum munculnya agama Islam ilmu-ilmu itu disebut sebagai ilmu-ilmu perdukunan, ilmu sihir, tenung dan nujum.  Ilmu-ilmu itu dilarang oleh Nabi mereka. Walaupun kemudian ilmu-ilmu gaib dan khodam itu telah diperbarui dan dilakukan dengan cara-cara yang bernuansa Islam agar tampak "halal", tetap saja dilarang. Musyrik dan Syirik hukumnya menyombongkan diri atas segala kemampuan manusia dan menyekutukan diri dengan selain Allah.

Di Arab Saudi, negara kiblat agama Islam, keberadaan ilmu-ilmu tersebut memang sudah tidak kelihatan lagi, karena merupakan perbuatan yang sangat terlarang, dianggap sama dengan perbuatan sihir dan berhala dan bersekutu dengan setan - iblis. Hukumannya : mati !   Sekalipun di Arab Saudi ilmu-ilmu itu dianggap sesat, tetapi di negara-negara lain ilmu-ilmu tersebut masih berkembang dan masih marak digunakan. Justru ilmu-ilmu itu sering dijadikan alat untuk menarik pengikut, sehingga kemudian berkembang suatu pandangan (sampai sekarang), bahwa seorang ulama atau seorang tokoh pemuka agama akan terkenal dan dianggap mumpuni (berkaromah) jika orang itu menguasai juga keilmuan gaib atau kesaktian. Jika tidak, maka orang itu akan dianggap biasa saja, tidak istimewa.

Selain yang tergabung di dalam Dewan Wali, masih ada banyak ahli-ahli agama dan penyebar agama Islam yang setingkat dengan Wali, tetapi karena posisi dan pengaruh mereka dianggap tidak cukup penting, mereka tidak dimasukkan ke dalam keanggotaan Dewan Wali. Syech Siti Jenar sendiri sebenarnya tidak termasuk di dalam keanggotaan Dewan Wali, karena beliau tidak mau terikat dengan perhimpunan para Wali dan jarang sekali mau datang berkumpul bersama para Wali. Tetapi di kalangan masyarakat umum Syech Siti Jenar sangat dihormati, seorang ulama yang karismatik, malah banyak yang mengganggap Syech Siti Jenar lebih daripada sekedar Wali, karena dianggap ilmunya lebih "tua" dibandingkan para Wali yang lain.

Sunan Kalijaga, sekalipun masih baru dalam agama Islam, dan ia juga belajar kepada para Wali, tetapi ia cepat dalam menguasai pelajaran agama Islam, giat menyebarkan agama Islam dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat umum, sehingga ia dimasukkan ke dalam keanggotaan Dewan Wali, walaupun di dalam rapat untuk mengambil keputusan-keputusan penting, seperti memilih dan mengangkat pejabat-pejabat kerajaan, kabupaten dan kadipaten, ia seringkali tidak diikutsertakan.

Sunan Kalijaga sendiri tidak begitu mempedulikan urusan kekuasaan dan kemewahan, karena ia adalah anak seorang bupati yang sudah cukup kenyang dengan kekuasaan dan kemewahan. Malahan sebelumnya beliau telah lama pergi berkelana meninggalkan kemewahan hidupnya, menjadi perampok yang merampok orang-orang kaya dan pejabat-pejabat kaya dan merampok uang hasil penarikan pajak dari rakyat yang akan disetorkan kepada penguasa kerajaan, kadipaten atau kabupaten, dan membagikan kembali hasil rampokannya itu kepada orang-orang yang telah diperas / dipaksa membayar pajak dan kepada rakyat miskin.

Sunan Kalijaga lebih suka berkeliling, berada di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya untuk mengajarkan agama, tetapi juga untuk mengayomi mereka. Walaupun ilmu agamanya sudah cukup dalam, tetapi ia juga masih menyimpan kearifan kepercayaan lama, kejawen, sehingga ia juga peka dalam urusan kebatinan dan bisa beradaptasi dengan masyarakat umum yang menganut kepercayaan lama yang beraneka ragam. Ia juga sejalan dengan Syech Siti Jenar dan belajar juga kepadanya, termasuk cara-cara menyebarkan agama Islam, yaitu menyebarkan agama Islam dengan tidak menggunakan cara-cara kekuasaan, pemaksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara-cara yang simpatik dan adaptif dengan sikap hati dan cara hidup masyarakat setempat, cara-cara yang disukai dan dihargai oleh masyarakat umum, sehingga ajaran-ajarannya mendapatkan sambutan yang baik dari semua kalangan di masyarakat.

Perseteruan utama yang terjadi sebenarnya adalah antara Sunan Kudus di Demak dengan Syech Siti Jenar. Para Wali yang lain hanya menjadi pendukung Sunan Kudus saja. Salah satu yang dilakukan para Wali untuk menjatuhkan Syech Siti Jenar adalah menuduhnya telah sesat dan mengajarkan kesesatan. Dalam hal ini Syech Siti Jenar sebagai seorang pemuka agama Islam dituduh telah mengajarkan kebatinan agama yang bukan asli ajaran Islam, menyimpang dari ajaran Islam yang benar, dan dianggap sesat. Juga dengan ajarannya Manunggaling Kawula Lan Gusti,  Syech Siti Jenar dituduh telah sesat, dituduh menyamakan dirinya dengan Allah dan dituduh mengaku dirinya Allah.

Syech Siti Jenar juga dituduh telah menyesatkan banyak orang dengan mengajarkan bahwa untuk beribadah kepada Allah tidak harus dengan sholat. Dengan demikian sama saja Syech Siti Jenar meniadakan kewajiban sholat. Ajaran Syech Siti Jenar juga mengatakan bahwa kehidupan di dunia adalah kematian / neraka, dan kehidupan sejati, kehidupan yang sebenarnya, yaitu 'surga', adalah surga kehidupan sesudah kematian, sehingga banyak pengikutnya yang tidak mengerti dengan benar ajarannya itu kemudian banyak yang berusaha bunuh diri untuk dapat segera mengalami surga hidup sesudah kematian.

Tuduhan-tuduhan itu juga diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang diutus para Wali kepada Syech Siti Jenar, yang pada saat mereka datang ke padepokan / pesantren Syech Siti Jenar dijawab :"Syech Siti Jenar tidak ada. Yang ada adalah Allah". Dengan demikian dalam pengertian mereka, Syech Siti Jenar menyamakan dirinya dengan Allah.

Memang banyak ajaran dan perkataan Syech Siti Jenar yang terlalu "tinggi", sehingga banyak orang yang tidak mengerti dengan benar ajarannya. Padahal maksudnya tidak begitu. Seharusnya orang memiliki kearifan yang tinggi ketika berhadapan dengan orang "tinggi" seperti Syech Siti Jenar. Orang yang datang ke padepokannya tentulah bukan datang untuk menemui manusia Syech Siti Jenar, tetapi untuk belajar agama Allah, datang untuk mencari Allah. Yang ada di padepokannya bukanlah sekumpulan manusia biasa saja, tetapi adalah kumpulan orang-orang yang bersatu di dalam Allah. Sehingga orang-orang yang datang ke pesantren / padepokannya tentunya bukanlah mencari manusia Syech Siti Jenar, tetapi mencari Allah.

Syech Siti Jenar juga tidak bermaksud meniadakan hukum sholat, karena sholat tetap diajarkan kepada murid-muridnya. Tetapi kepada mereka yang sudah senior dan sudah cukup "dalam" pelajaran agamanya juga diajarkan manekung-manembah, Manunggaling Kawula Lan Gusti, yang menekankan kesatuan hati dan batin dalam menyembah Allah. Itu adalah pencerahan ketuhanan yang diterimanya dari memahami penghayatan ketuhanan jawa, ibadah tidak hanya dilakukan secara formal fisik saja, tetapi harus juga dengan hati dan batin, dan ada saat-saat tertentu mereka secara khusus mendekatkan diri kepada Allah, bersemedi, berzikir atau wirid.

Bahkan dapat ditunjukkannya, di dalam kekuatan hati / batin dalam penghayatan kepercayaannya kepada Allah dengan hanya mengucap bismillah ..... ia menyembuhkan orang sakit, dsb. Dengan demikian ia menekankan bahwa dengan mengimani kesatuan batinnya dengan Allah, manusia dapat menghadirkan kuasa Allah dalam dirinya, manusia dapat melakukan mukjizat tanpa harus sebelumnya membaca / mengamalkan amalan gaib, walaupun amalan-amalan gaib itu sudah direkayasa bernuansa agama. Dalam kondisi demikian kuasa Allah hadir di dalam dirinya ketika ia mengimani dirinya menyatu dengan Allah, bukan berarti ia menyamakan dirinya dengan Allah. Ajaran Manunggaling atau ajaran menyatu dengan Allah tidaklah sama dengan ia mengaku diri sebagai Allah atau menyamakan diri dengan Allah.

(Walaupun ajaran manunggaling dari Syech Siti Jenar dinyatakan sesat, tetapi kemudian masing-masing Wali menciptakan sendiri-sendiri konsep dan ajaran manunggaling kawula lan gusti menurut versi dan persepsi mereka sendiri-sendiri yang pada masa sekarang ini ajaran manunggaling kawula lan gusti versi para Wali itu sering dikatakan orang sebagai ajaran manunggaling-nya Syech Siti Jenar).

Memang banyak ajaran Syech Siti Jenar yang  terlalu "tinggi",  karena ajarannya bukan hanya sebatas syariat dan tata ibadah saja seperti yang diajarkan oleh wali-wali lain. Ajaran-ajarannya juga banyak yang disampaikan dengan menggunakan bahasa perlambang kebatinan jawa sesuai budaya jawa saat itu, yang orang tidak akan mengerti bila memahaminya secara dangkal saja atau hanya memahami yang tersurat saja tanpa memiliki kebijaksanaan untuk memahami yang tersirat, sehingga bukan hanya orang awam, bahkan orang-orang ahli agama seperti para Wali sekalipun juga tidak dapat mengerti dengan benar ajarannya. Tetapi jika mereka memiliki pengetahuan agama dan kearifan yang dalam dan hikmat kebijaksanaan di dalam diri mereka, dan tidak berpikiran negatif atau bertendensi / berniat buruk, seharusnya mereka dapat mengerti. 

Sunan Kalijaga, sekalipun adalah yang paling muda di antara para Wali dan adalah juga murid mereka, tetapi memiliki kebijaksanaan dan pengertian kebatinan yang dalam dan dapat mengerti kebenaran ajaran Syech Siti Jenar. Ia juga diam-diam belajar kepadanya dan mengikuti cara-cara yang digunakan oleh Syech Siti Jenar dalam menyebarkan agama Islam, cara-cara yang sederhana tapi merakyat, tidak seperti para Wali lainnya yang melakukannya dengan jalan kekuasaan. Tetapi setiap kali ia datang ke padepokan Syech Siti Jenar, ia selalu dibuntuti oleh Sunan yang lain, karena para Wali khawatir Sunan Kalijaga akan dapat dipengaruhi dan berpihak kepada Syech Siti Jenar.

Sebenarnya kekhawatiran para Wali itu bukanlah hanya sebatas masalah pribadi ataupun pengaruh ajaran Syech Siti Jenar dan perkembangannya yang pesat, tetapi terutama adalah karena banyak murid dan pengikut Syech Siti Jenar itu adalah adipati atau bupati keturunan / trah kerajaan Majapahit yang juga mempunyai hak atas tahta yang sama seperti Raden Patah sang raja Demak. Para murid dan pengikut Syech Siti Jenar itu banyak yang menjadi penguasa wilayah kadipaten dan kabupaten di bekas wilayah Majapahit dan tidak berada di bawah kekuasaan Demak. Mereka berkesaktian tinggi dan memiliki banyak prajurit, dapat menjadi bahaya bagi Demak di kemudian hari.

Syech Siti Jenar dapat menjadi masalah besar bagi kerajaan Demak di kemudian hari, tetapi untuk menyerang Syech Siti Jenar secara langsung adalah sangat tidak mungkin. Kegaiban Syech Siti Jenar terlalu tinggi. Seandainya pun para Wali bersama-sama datang menyerang Syech Siti Jenar,  jangankan untuk menangkap, menyentuhnya pun tidak dapat. Satu-satunya jalan hanyalah dengan menjatuhkannya secara agama dan mendatangkan bantuan dari kerajaan Demak.

Begitu juga dengan para pengikut Syech Siti Jenar. Banyak di antara mereka adalah adipati atau bupati, kepala kadipaten / kabupaten yang berkesaktian sangat tinggi dan juga memiliki banyak tentara didikan kerajaan Majapahit.  Kadipaten Pengging saja mampu dengan mudah melenyapkan kerajaan Demak, jika dikehendaki, sedangkan di bekas-bekas wilayah Majapahit yang lain ada banyak kadipaten yang setingkat dengan Pengging. Sekalipun Demak didukung oleh para Wali, dengan mudah mereka dapat melenyapkan kerajaan Demak, jika mereka menghendaki. Mereka sudah berpengalaman malang-melintang dalam peperangan mengamankan berbagai daerah di dalam wilayah kekuasaan Majapahit, sehingga kerajaan kecil dan baru seperti Demak bukanlah ancaman besar bagi mereka.

Kerajaan Demak dan tentaranya beserta para Wali di dalamnya tak akan pernah mampu menundukkan Pengging, apalagi menundukkan seluruh penguasa di bekas wilayah Majapahit. Tak ada harapan bagi Demak untuk menang, jika dilakukan dengan peperangan. Kemenangan apa yang diharapkan dari penguasa kecil dan baru yang mengandalkan pasukan rakyat (santri) di barisan depannya melawan pasukan tentara yang sudah matang berpengalaman malang-melintang di nusantara ?  Sekalipun para Wali terkenal dengan ilmu gaibnya, tetapi kesaktian ilmu gaib para Wali itu masih jauh di bawah kesaktian mereka dan tidak akan pernah mampu menandingi kesaktian mereka. Di mata mereka, kesaktian gaib para Wali itu hanyalah permainan anak-anak dan hanya cocok untuk atraksi hiburan bagi rakyat jelata yang awam.

Walaupun sebenarnya di mata mereka kerajaan Demak tidak mempunyai dasar legitimasi yang kuat, karena Prabu Brawijaya melepaskan kekuasaan pemerintahan kepada Raden Patah setelah beliau lengser dari keprabuannya, bukan pada saat masih memegang jabatan raja, dan mereka pun masih keturunan raja-raja Majapahit yang mempunyai hak yang sama atas tahta seperti Raden Patah, tetapi demi menghormati junjungan mereka Prabu Brawijaya yang telah melepaskan kekuasaan kerajaan, mereka tidak menyerang Demak. Tetapi mereka tidak mau tunduk dan menyerahkan janji setia kepada Demak, apalagi tunduk di bawah bayang-bayang kekuasaan para Wali. Mereka memilih kembali ke daerahnya masing-masing menjadi pemimpin kadipaten, kabupaten, kademangan, dsb, dengan membawa serta para prajurit pengikut setia mereka masing-masing.

Maka ketika di dalam suatu persidangan dakwaan para Wali tidak dapat menjerat Syech Siti Jenar,  para Wali memutuskan akan membawanya ke persidangan lanjutan di hadapan Sultan Demak sebagai hakim tertinggi. Tetapi Syech Siti Jenar menolak dan berkata: "Aku telah mengajarkan apa yang aku anggap benar dan kamu juga tidak dapat menemukan kesalahan di dalam ajaran-ajaranku. Tetapi jika aku menjadi batu sandungan ...... , biarlah aku menghilang dari kehidupan manusia". Setelah berkata demikian, Syech Siti Jenar bersemadi sesaat, kemudian hilanglah Syech Siti Jenar dari hadapan mereka, moksa, menghilang masuk ke alam gaib bersama dengan raganya. Bersamaan dengan hilangnya tubuh Syech Siti Jenar terciumlah bau harum wangi semerbak hingga tercium baunya sampai keluar halaman mesjid.

Setelah moksanya Syech Siti Jenar, dengan memimpin sejumlah besar prajurit Demak, para Wali dan Sunan Kudus sebagai panglimanya yang selalu mengikutkan laskar santri sebagai ujung tombak pasukannya memburu dan mendatangi pengikut-pengikut Syech Siti Jenar untuk ditawan dan dibawa ke Demak. Para Wali dan para prajuritnya harus sangat berhati-hati, karena para pengikut Syech Siti Jenar itu banyak yang memiliki kesaktian tinggi, ilmu kesaktian jaman Majapahit, yang bersama dengan para prajurit pengawal dan pengikutnya mampu menjungkir-balikkan para Wali dan tentaranya, sehingga para Wali dengan cerdik menggunakan strategi bukan akan menangkap mereka dengan alasan pemberontakan atau pun alasan politik lainnya yang mungkin akan menimbulkan perlawanan dan peperangan, tetapi akan membawa mereka untuk diadili di Demak sehubungan kesesatan ajaran agama dari Syech Siti Jenar yang mereka anut.

Tetapi di Pengging, Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenanga) dan para pengikutnya menolak untuk ditawan dan lebih memilih mati, karena mereka yakin pada kebenaran kepercayaan mereka. Mereka mengambil jalan kematian dengan cara memutus nyawa mereka setelah bersemadi sesaat (megat-ruh). Namun sesudah kematian mereka itu, para prajurit Demak kemudian memenggal kepala mereka dan juga membantai habis keluarga mereka sampai kepada anak-anak dan bayi, juga membantai habis para prajurit pengikut mereka dan keluarganya dan para penduduk di sekitarnya yang mengabdi kepada mereka. Dengan demikian mereka telah mentuntaskan "persaingan agama" dan menumpas benih-benih kerajaan Majapahit yang dapat menjadi bahaya bagi Demak di kemudian hari.

Dalam penaklukan-penaklukan berikutnya oleh pasukan Demak dan laskar santrinya di daerah-daerah yang menerima ajaran Syech Siti Jenar selalu disertai dengan pembunuhan besar-besaran orang-orang tua sampai kepada anak-anak dan bayi, sehingga terjadi pengungsian besar-besaran rakyat yang berusaha menyelamatkan diri. Rakyat umum berbondong-bondong berjalan kaki mengungsi sampai ke pelosok-pelosok yang jauh dari kota, ke dalam hutan dan ke gunung-gunung (suku Tengger Bromo yang sekarang adalah salah satu keturunan pengungsi itu). Orang-orang kaya dan keluarga bangsawan yang punya kendaraan (kuda, bendi) dan mampu membayar biaya kapal mengungsi sampai ke pulau Bali. Ribu-ribuan nyawa melayang menjadi tumbal ambisi kekuasaan mereka.

Kuatnya kebatinan, keprihatinan dan kepiluan hati leluhur-leluhur tanah jawa atas penganiayaan-penganiayaan, pembunuhan-pembunuhan dan kejinya generasi mudanya yang sudah hilang jawanya (sudah hilang hati nurani dan budi pekertinya, sudah buta hatinya karena agama) menjadikan bulan Suro di Jawa dari tahun ke tahun selalu beraura negatif. Bulan Suro menjadi bulan perkabungan mereka.

dicopy dari: javanese2000

Comments

Popular posts from this blog

kelas wifi dan kelas ip cah tkj

Wahyu Topeng Waja

Media dan Politik BAJINGAN